Senin, 14 April 2014


Windi Aries Rusdiana
PARTAI INDONESIA (PARTINDO)
Dalam catatan sejarah bahwa sejak empat orang tokoh PNI yaitu Ir. Soekarno (sebagai ketua PNI), R. Gatot Mangkoepraja (sekretaris II PB PNI), Markoen Soemadiredja (sekretaris II Pengurus PNI Cabang Bandung), dan Soepriadinata (anggota PNI cabang Bandung) diajukan kedepan pengadilan di bandung pada tanggal 18 agustus 1930 sampai dengan 29 september 1930. Ir. Soekarno dalam pidato pembelaannya yang terkenal dengan nama “Indonesia Menggugat” menandaskan bahwa “Kini telah menjadi jelas pergerakan nasional di indoneisa bukanlah bikinan kaum intelektual dan komunis saja, tetapi merupakan reaksi umum yang wajar dari rakyat jajahan yang dalam batinnya telah merdeka. Revolusi Indonesia adalah revolusinya zaman sekarang, bukan revolusinya sekelompok-kelompok kecil kaum intelektual, tetapi revolusinya bagian terbesar rakyat dunia yang terbelakang dan diperbodoh”. Pemimpin-pemimpin PNI dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan colonial pada tanggal 22 desember 1930.
Penangkapan atas pemimpin-pemimpin PNI, terutama Ir. Soekarno yang merupakan jiwa penggerak PNI merupakan pukulan yang sangat keras terhadap PNI. Pada kongres luar biasa ke-2 di Jakarta, pada tanggal 25 april 1931, diambil keputusan untuk membubarkan PNI Karena keadaan yang memaksa. Pembubaran ini menimbulkan perpecahan dikalangan pendukung-pendukung PNI, Dan masing-masing pihak mendirikan sebuah partai. Salah satu partai itu adalah partai Indonesia (Partindo) yang didirikan oleh Mr. Sartono dan kawan-kawannya. Perbedaan antara keduanya sebenarnya tidak ada huubungannya dengan persoalan pembaruan social. Mereka setuju bahwa kemerdekaan politik adalah tujuan perjuangan utama yang harus dicapai dengan taktik nonkoperasi. Akan tetapi, apabila PNI-baru lebih mengutamakan pendidikan politik dan social, partindo percaya bahwa organisasi masa dengan aksi adalah senjata yang tepat untuk mencapai kemerdekaan.
Berdirinya partai partindo pada tanggal 30 april 1931 atas dasar nasionalisme indoneisa yang bertujuan  mencapai kemerdekaan Indonesia. Dalam tujuan partai partindo yang di pimpin oleh sartono akan mendasarkan pada kekuatan sendiri. Anggota partindo sebagian besar berasal dari anggota PNI. Pada permulaan bulan februari 1932 partindo mempunyai anggota sekitar 3.000 orang.
Golongan merdeka tidak senang melihat pembubaran PNI itu yang kemudian disusul didirikannya partindo. Mereka tidak tinggal diam, tetapi berusaha untuk mendirikan suatu organisasi sendiri. Mereka selalu berhubungan dengan Mohammad Hatta yang masih berada di negri belanda. Akhirnya pada akhir bulan desember 1931 di Yogyakarta didirikan organisasi baru bagi mereka dengan nama pendidikan nasional Indonesia (PNI) baru.
Jika PNI baru di bandingkan dengan partindo, pada hakikatnya tidak ada perbedaan yang besar. Karena kedua organisasi itu berdiri di atas dasar yang tidak jauh berbeda, yaitu nasinalisme Indonesia dan demokrasi. Tujuannya adalah kemerdekaaan Indonesia yang hendak di capai dengan kekuatan sendiri tanpa meminta bantuan siapa pun dan tidak mau bekerja sama dengan pemerintah colonial (nonkooperasi). Perbedaan adalah dalam cara unntuk mencapai tujuan. PNI baru berkeyakinan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak akan dapat dicapai dengan agitasi belaka, tetapi memerlukakan kerja yang terorganisasi. Kemerdekaaan hanya dapat dicapai melalui usaha-usaha orang-orang yang terdidik.
Tidak lama sesudah PNI-baru lahir, Ir. Soekarno yang baru menjalani setengah hukuman yang di jatuhkan kepadanya, pada tanggal 31 desember 1931 dibebaskan dari penjara. Ia kemudian selama enam bulan lebih berusaha keras untuk menyatukan kedua partai itu, tetapi tidak berhasil, dan akhirnya Ir. Soekarno memilih untuk masuk ke dalam partai partindo.
Setelah Soekarno kembali dan memimpin partindo, partai ini yang sebelumnya kurang berani jika dibandingkan dengan PNI mengalami perkembangan pesat, bahkan jumlah cabang dan anggotanya pun meningkat secara drastis.
Setelah partindo menjadi partai yang bisa dibilang partai besar dan di segani oleh pemerintahan colonial belanda sehingga nama Indonesia boleh dikatakan telah kebal terhadap penahanan dan pembuangan para pemimpin gerakan nasional. Lambat laun masyarakat Indonesia menjadi matang dalam menghadapi segala tindakan pemerintah colonial. Berita penahanan Soekarno dianggap sebagai berita wajar. Ini tidak berarti rakyat tidak suka dengan pemimpinnya. Pada waktu itu, telah timbul anggapan kalangan masyarkata Indonesia bahwa menjadi pemimpin gerakan nasional taruhannya jiwa, hukuman penjara, atau pembuangan yang diasingkan ke daerah terpencil. Barang siapa sanggup menjadi pemimpin gerakan nasional, harus bersedia menerima  salah satu dari tiga kemungkinan itu sebagai konsekuensinya. Yang menjadi pemikiran para anggota partai adalah penerapan peraturan pemerintah 111 yang mengandung pembatasan hasil berserikat bagi partindo dan PNI baru. Penerapan peraturan tersebut berarti pembubaran partai dari pihak pemerintah secara tidak resmi. Pemerintah cukup mempunyai senjata ampuh untuk melumpuhkan sgeala gerakan nasional yang tidak disukai tanpa pembubaran secara resmi. Pembubaran atas prakarsa sendiri, seperti yang dilakukan tahun 1931 oleh Sartono sebagai taktik perjuangan, tidak lagi terpikirkan.
Makin meningkatnya perjuangan kedua partai antara partindo dan PNI baru saat itu  menimbulakan rasa khawatir dikalangan pemerintah. Kemudian dibuatlah berbagai macama peraturan yang bermaksud hendak mengekang perkembangannya. Tindakan pertama yang dilakukan oleh gubernur jendral De Jong adalah dengan dikeluarkannya ordonansi pengekangan pers. Sejak berlakunya ordonansi ini tahun 1931 sampai tahun 1936 (selama pemerintahan de jong) sebanyak 27 surat kabar menjadi korban.
Setelah keluar ordonansi, kebebasan berbicara dalam rapat-rapat menjadi sangat terbatas. Polisi yang biasa menghadiri rapat-rapat dianjurkan bertindak agak keras. Atas dasar itu, polisi-polisi dapat bertindak sesuka hati. Mereka dapat memberentikan pembicara-pembicara dalam suatu rapat  jika sekiranya materi yang dibicarakan menyinggung pemerintah. Demikian pula jika dalam rapat-rapat partia di perlihatkan symbol-simbol nasional Indonesia. Tekanann-tekanan yang demikian itu tidak hanya menimpa partindo dan PNI-baru, tetapi juga partai-partai lainnya. Usaha pemerintah untuk mematikan gerakan partia partindo dan PNI-baru tidak hanya dengan cara tersebut. Untuk mengurangi jumlah anggota, dikeluarkan larangan terhadap para pegawai pemerintah untuk memasuki kedua partai itu. Pegawai-pegawai pemerintah yang terlibat dalam aksi-aksi golongan nonkooperasi ini dikenai hukuman. Tindakan pemerintah yang lain untuk menekan kedua partai itu ialah  dengan dilaksanakan exorbitant recthen yaitu hak luar biasa yang dimiliki oleh gubbernur jendaral untuk mengasingkan seseorang yang dianggap berbahaya.
Hak luar biasa gubernur jendral tersebutmenimpa pemimpin-pemimpin partindo dan PNI-baru. Soekarno yang baru dibebaskan dari penjara pada akhir tahun1931, pada bulan Juli 1933 di tangkap lagi. Tanpa diadili kemudian ia diasingkan ke flores, kemudian di pindahkan ke Bengkulu Sumatra, sampai pembebasannya oleh pemetintah pendudukan jepang pada tahun1942. Korban lainnya dari PNI-baru antara lain Moh. Hatta dan Sultan Sjahrir yang ditangkap pada bulan februari1934. Hatta dan Sjahrir dibuang ke boven digul dan dari sana kemudian pada bulan desember 1935 dipindahkan ke bandaniara.
Usaha pemerintah untuk mematikan kedua organisasi tersebut masih dilakukan. Beberapa hari setelah penangkapan Soekarno, pada tanggal 1 agustus 1933 dikeluarkan larangan untuk mengadakan rapat diseluruh Indonesia. Dengan adanya penangkapan-penagkapan terhadap beberapa pemimpin partindo dan PNI-baru dan larangan mengadakan rapat dan berkumpul, keadaan gerakan nonkooperasi tidak berdaya lagi. Orang-orang yang mempunyai keberanian mengikuti jejak para pemimpin yang telah diasingkan, akhrnya juga ditangkap dan diasingkan.
Kegiatan-kegiatan dibawah tanah sangat sukar dijalankan karena banyaknya polisi rahasia. Usaha para pemimpin PNI-baru yang masih ada untuk memberikan penerangan-penerangan kepada para anggotanya melalui kursus-kursus dan kunjungan ke rumah-rumah juga tidak berhasil karena mendapat larangan. Cara-cara tersebut dianggap sebagai aksi yang tersembunyi dan dengan aksi tersebut, pada tahun1936 terjadi penangkapan-penangkapan para petinggi partai partindo dan di sinilah mulai terjadi kelemahan dalam gerakan partai tersebut.
Pengalaman pahit yang dialami oleh kaum nonkoopearasi menimbulkan kesangsian dikalangan mereka akan keberhasilan polotik perjuangannya. Gatot Mangkupraja mantan pengurus besar partai partindo mengusulkan agar golongan nonnkooperasi mengurangi kegiatannya dilapangan politik dan sebaliknya banyak mencurahkan perhatiannya pada naslah-masalah social dan ekonomi. Menurutnya kemerdekaan Indonesia tidak tergantung sama sekali pada perjuangan dibidang politik, teapi juga tergantung pada keadaan internasional terhadap Indonesia. Kegiatan social yang dimaksud mendirikan sekolah-sekolah serta mengeluarkan buku-buku pengetahuan berbahsa Indonesia akan maju dengan sendirinya.
Setahun sebelumnya, pada tahun 1934, ketika terjadi pengasingan terhadap pemimpin-pemimpin partindo dan PNI-baru, pernah juga dinyatakan dalam Djawa Barat bahwa orang akan mencapai hasil yang lebih banyak kalau orang dapat menggunakan semangat nasional untuk menyelesaikan masalah-maslah ekonomi.
Kemudia usaha partindo dan pendidikan nasional Indonesia untuk memperpanjang hidupnya dan menerapkan taktik perjuangan, kenyataannya adalah bahwa pihak pemerintah sudah mempunyai maksud untuk melumpuhkannya. Demikianlah, pihak pemerintah tetap mengadakan rintangan untuk kelangsungan hidup kedua partai tersebut. Meskipun partindo pada tahun 1935 mengubah anggaran dasarnya dan menghilangkan pasal-pasal  yang tidak disukai pihak pemerintah, dan mengubah asas non kooperasi menajdi taktik, akibat tekanan pihak pemerintah akhirnya pada tanggal 18 november 1936 membubarkan diri. Pendidikan nasional Indonesia tidak pernah mengubah diri, namun praktis juga tidak dapat bergerak. Demikianlah pemerintah colonial dibawah pimpinan gubernur Jendral De Jonge dengan menggunakan senjatanya yang ampuh berupa kekuasaan luar biasa berhasil melumpuhkan lawannya yang bergerak dalam batas undang-undang. Karena undang-undang pidana tidak bisa di terapkan untuk meringkus musuhnya, gubernur jendral terpaksa menggunakan kekuasaan luar biasa yang ada padanya.
Keluarnya Soekarno dalam partai partindo bulan oktober 1933 memberikan kesempatan kepada berbagi pihak baik kawan maupun lawan untuk menafsirkannya. Tafsirannya memang berbeda-beda ada yang menganggap sebagai taktik, bahkan biasa jadi ia menyelamatkan partindo karena iya tahu dengan pasti bahwa pengaruhnya terhadap partindo terlalu besar. Karena secara resmi telah keluar dari partindo, partindo sendiri tidak mempunyai sangkutpaut lagi dengan Soekarno dan berjalan terus tanpa pengaruhnya dan sampai partindo membubarkan diri dan membentuk gerakan partai-partai lain.












DAFTAR PUSTAKA

Kartodirdjo,sartono.(1900) pengantar ilmu sejarah jilid II.
Poesponegoro, M. D. dan Notosusanto, N. (1981). Sejarah Nasional Indonesia, Jilid V.  Jakarta: Balai Pustaka.
Marwati, Notosusanto, Nugroho. 2008, Sejarah Naional Indonesia v (Jaman Kebangkitan Nasional dan masa Hindia Belanda), Jakarta: Balai Pustaka.
Salim, Agus. (2007), Bungkarno 1901-1970, Bandung: Nuansa
Praptanto, Eko. 2010, Sejarah Indonesia, Jakarta: Bina Sumber Daya MIPA

Kamis, 03 April 2014

Budi Utomo

Budi Utomo (ejaan soewandi: Boedi Oetomo) adalah sebuah organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr. sutomo dan para mahasiswa stovia yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan soeraji pada tanggal 20 mei 1908. Digagaskan oleh Dr. Wahidin sudirohusodo. Organisasi ini bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan tetapi tidak bersifat politik. Berdirinya Budi Utomo menjadi awal gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan indonesia walaupun pada saat itu organisasi ini awalnya hanya ditujukan bagi golongan berpendidikan jawa. Saat ini tanggal berdirinya Budi Utomo, 20 Mei, diperingati sebagai Hari kebangkitan nasional

Pada tahun 1907 Dr. Wahidin seorang tokoh cendikiawan yang merasa bertanggung jawab atas kebodohan dan keterbelakangan bangsanya melakukan kunjungan ke sekolah STOVIA (salah satu lembaga pendidikan yang menghasilkan priyayi rendah Jawa). Siswa di sana sangat bersemangat dan memberikan tanggapan yang baik atas kedatangan Dr. Wahidin. Bersama beberapa siswa STOVIA seperti Soetomo dan Goenawan Mangunkusumo, Dr. Wahidin mengadakan perjalanan keliling Pulau Jawa untuk menghimpun dana pendidikan. Usaha yang dilakukan oleh Dr. Wahidin itu mendapat simpati yang besar dari semua kalangan. Mereka yang kebetulan memiliki uang dengan sukarela memberikan sumbangannya. Setelah diadakan rapat-rapat untuk membicarakan lebih jauh rencana mereka, pada tanggal 20 Mei 1908 bertempat di jalan Abdulrahman Saleh 26 Jakarta terbentuklah suatu perkumpulan yang dinamakan Budi Utomo, yang diketuai oleh Soetomo.

Corak baru yang diperkenalkan Budi Utomo adalah kesadaran lokal yang diformulasikan dalam wadah organisasi modern, dalam arti bahwa organisasi itu mempunyai pimpinan, ideologi yang jelas dan anggota. Lahirnya Budi Utomo, telah merangsang berdirinya oragnisasi-organisasi pergerakan lainnya yang menyebabkan terjadinya perubahan sosio-politik Indonesia.

Budi Utomo bersifat kooperatif dengan pemerintah kolonial, karena BU menempuh cara dan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi pada waktu itu sehingga wajar jika BU berorientasi kultural. Dalam perjalanannya, BU dengan fleksibilitasnya itu mulai menggeser orientasinya dari kultur ke politik. Edukasi barat dianggap penting dan dipakai sebagai jalan untuk menempuh jenjang sosial yang lebih tinggi.

BU bukan hanya dikenal sebagi salah satu organisasi nasional yang pertama di Indonesia, tetapi juga sebagai salah satu organisasi terpanjang usianya sampai dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia. BU memang mempunyai arti yang penting meskipun anggotanya sangat sedikit diabnding dengan Sarikat Islam. Akan tetapi kehadiran BUlah yang menyebabkan berlangsungnya perubahan-perubahan politik hingga terjadinya integrasi nasional. Sebagai suatu organisasi yang baik, Budi Utomo memberikan usulan kepada pemerintah Hidia Belanda sebagai mana berikut ini :

1. Meninggikan tingkat pengajaran di sekolah guru baik guru bumi putera maupun sekolah priyayi.

2. Memberi beasiswa bagi orang-orang bumi putera.

3. Menyediakan lebih banyak tempat pada sekolah pertanian.

4. Izin pendirian sekolah desa untuk Budi Utomo.

5. Mengadakan sekolah VAK / kejuruan untuk para bumi putera dan para perempuan.

6. Memelihara tingkat pelajaran di sekolah-sekolah dokter jawa.

7. Mendirikan TK / Taman kanak-kanak untuk bumi putera.

8. Memberikan kesempatan bumi putra untuk mengenyam bangku pendidikan di sekolah rendah eropa atau sekolah Tionghoa - Belanda.

Kongres pertama budi utomo diadakan di Yogyakarta pada oktober 1908 untuk mengkonsolidasikan diri dengan membuat keputusan sebagai berikut :

1. Tidak mengadakan kegiatan politik.

2. Bidang utama adalah pendidikan dan kebudayaan

3. Terbatas wilayah jawa dan madura.

4. Mengangkat R.T. Tirtokusumo yang menjabat sebagai Bupati Karanganyar sebagai ketua.

Pemerintah Hindia-Belanda mengesahkan Budi Utomo sebaga badan hukum yang sah karena dinilai tidak membahayakan, namun tujuan organisasi Budi Utomo tidak maksimal karena banyak hal, yakni :

1. Mengalami kesulitan dinansial

2. Kelurga R.T. Tirtokusumo lebih memperhatikan kepentingan pemerintah kolonial daripada rakyat.

3. Lebih memajukan pendidikan kaum priyayi dibanding rakyat jelata.

4. Keluarga anggota-anggota dari golongan mahasiswa dan pelajar.

5. Bupati-bupati lebih suka mendirikan organisasi masing-masing.

6. Bahasa belanda lebih menjadi prioritas dibandingkan dengan Bahasa Indonesia.

7. pengaruh golongan priyayi yang mementingkan jabatan lebih kuat dibandingkan yang nasionalis.

Keterangan :

Bumi Putera adalah bukan bank atau lembaga keuangan bisnis lainnya, tetapi yang dimaksud dengan bumi putera adalah warga pribumi yang pada zaman dahulu dianggap sebagai warga tingkat rendah dibanding warga ras eropa, cina, arab, dan lain-lainnya

Dr. Wahidin Soedirohusodo (1857-1917), lulusan STOVIA, sekolah dasar dokter Jawa, antara tahun 1906-1907 berkeliling pulau Jawa untuk berkampanye meningkatkan martabat rakyat. Peningkatan ini akan dilaksanakan dengan membentuk dana pelajar. Usaha ini ternyata tidak begitu berhasil. Pada akhir tahun 1907, Dr. Wahidin Soedirohusodobertemu dengan pemuda Soetomo, siswa STOVIA di Batavia. Perbincanagan tentang nasib rakyat ternyata mengugah Soetomo untuk mendiskusikan hal ini dengan teman –temanya, akhirnya pada tanggal 20 Mei 1908 berdirilah Boedi Oetomo dengan Soetomo sebagai ketuanya.

Organisasai yang bertujuan ― Kemajuan Bagi Hindia –Belanda ― ini terbuka bagi siapa saja, penduduk Jawa, Madura dan akhirnya meluas untuk seluruh penduduk Hindia, tanpa membedakan keturunan, agama, maupun jenis kelamin. Pada bula Juli 1908, Boedi Oetomo telah memilki 650 anggota yang tersebat di Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Magelang, Surabaya dan Probolinggo. Mereka yang bukan mahasiswa juga menggabungkan diri

Boedi Oetomo secara resmi menetapkan bahwa yang menajdi perhatiannya adalah penduduk Jawa dan Madura. Bahasa yang dipergunakan secara resmi dalam organisasi adalah bahasa melayu. Orang –orang sunda pun ikut dalam organisasi ini. akan tetapi, lama –kelamaan peranan mahasiswa mulai tersingkirkan oleh kaum priyayi yang semakin menguasai organisasi. Sementara itu, rasa keunggulan budaya Jawa sering muncul ke permukaan sehingga dalam Boedi Oetomo cabang Bandung, organisasi terbagai dua menjadi bagian Jawa dan bagian sunda.

Setelah boedi Oetomo, bermunculan organisasi lainnya. Pada bulan September 1908 orang –orang Ambon mendirikan asosiasi yang disebut Ambonsch Studiefonds. Pada tahun 1909dana lain –lain. Selajutnya pada tahun 1911 Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam. Organisasi yang kemudian menjadi Sarekat Islam ini berkembang pesat. Kemudahan persyaratan menjadi anggota dan orientasi organisasi yang mengutamakan kepentingan rakyat kecil menarik minat banyak orang. Jumlah anggotanya di berbagai kota besar di jawa meningkat secara mencolok. Pada tahun 1916, jumlah anggota mencapai 800.000 orang dantahun 1919 jumlah anggota mencapai dua juta orang.





Daptar pustaka

Dimjati, M. (1951). Sedjarah Perdjuangan Indonesia. Djakarta: Widjaja.

Duijs, J.E.W. (1985). Membela Mahasiswa Indonesia di Depan Pengadilan Belanda. Terj. K.L.M. Tobing. Jakarta: Gunung Agung.

Frederick, W.H. dan Soeri Soeroto. (1991). Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan sesudah Revolusi. Jakarta: LP3ES.

Hatta, M. (1981). Memoirs. Penders, C.L.M. (ed.). Singapore: Gunung Agung.

Koch, D.M.G. (1951). Menudju Kemerdekaan. Terdj. Abdoel Moeis. Djakarta:

Pembangunan.

http://id.wikipedia.org/wiki/Budi_Utomo

Noer, D. (1996). Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900 – 1942. Jakarta: LP3ES.

Poesponegoro, M.D. dan Notosusanto, N. (1981). Sejarah Nasional Indonesia . Jilid V.

Jakarta: Balai Pustaka.

Ricklefs, M.C. (1991). Sejarah Indonesia Modern. Terj. Dharmono Hardjowidjono.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sjahrir, S. (1947). Fikiran dan Perdjuangan. Djakarta: Dian Rakjat. 
 
 
OLEH : WULANDARI

Gabungan Politik Indonesia (GAPI )

Pembentukan GAPI

Gabungan Politik Indonesia (GAPI) adalah suatu organisasi payung dari partai-partai dan organisasi-organisasi politik. GAPI berdiri pada tanggal 21 Mei 1939 di dalam rapat pendirian organisasi nasional di Jakarta. Walaupun tergabung dalam GAPI, masing-masing partai tetap mempunyai kemerdekaan penuh terhadap program kerjanya masing-masing dan bila timbul perselisihan antara partai-partai, GAPI bertindak sebagai penengah. Untuk yang pertama kali pimpinan dipegang oleh Muhammad Husni Thamrin, Mr. Amir Syarifuddin, Abikusno Tjokrosujono.
(http://sejarahkita.blogspot.com/2012_06_01_archive.html) diakses07-03-2014

Inisiatif datang dari Thamrin, tokoh perindra, untuk membentuk suatu badan konsentrasi nasional. karena Melihat gelagat internasional yang semakin genting serta memungkinkan keterlibatan langsung Indonesia dalam perang, maka pembentukan badan ini terasa sangat mendesak, antara lain untuk memupuk rasa saling menghargai serta kerja sama untuk membela kepentingan rakyat. ( Kartodirdjo, 1990: 186).

Ada pun alasan yang tidak kalah penting adalah situasi internasional pada saat itu. Alasan ini pula yang melatarbelakangi inisiatif Muhamad Husni Thamrin (Parindra) mengadakan rapat tanggal 19 Maret 1939 untuk mendirikan badan konsentrasi yang baru. Sebagai realisasi dari rapat di atas, maka pada tanggal 21 Mei 1939 diadakan rapat umum yang menghasilkan pembentukan konsentrasi nasional, Gabungan Politik Indonesia (GAPI).

Kepengurusan federasi dijalankan oleh suatu sekretariat tetap yang terdiri atas sekretaris umum, sekretaris pembantu dan bendahara. Jabatan-jabatan ini untuk pertama kali diduduki olehMuhamad Husni Thamrin dari Parindra sebagai bendahara. Abikusno Tjokrosuyoso dari PSII sebagai sekretaris umum, dan Amir Sjarifudin dari Gerindo sebagai sekretaris pembantu, Anggota GAPI terdiri atas Parindra (Partai Indonesia Raya), Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia), PH (Partai Islam Indonesia), PPKI (Persatuan Partai Katolik Indonesia), PSII (Persatuan Sarekat Islam Indonesia), Persatuan Minahasa dan Pasundan. Dasar-dasar federasi meliputi hak menentukan nasib sendiri, persatuan Indonesia, demokrasi dalam usaha-usaha politik, ekonomi, sosial serta kesatuan aksi. Sedangkan tujuannya mengadakan kerjasama dan mempersatukan semua partai politik Indonesia dan mengadakan kongres-kongres rakyat Indonesia.

Sesuai dengan anggaran dasarnya tujuan GAPI adalah:

1) Menghimpun organisasi-organisasi politik bangsa Indonesia untuk bekerja bersama-sama. 
2) Menyelenggarakan kongres Indonesia.

Pada bagian lain anggaran dasarnya disebutkan, bahwa Gabungan Politik Indonesia berdasarkan kepada beberapa hal berikut.

1) Hak untuk menentukan dan mengurus nasib bangsa sendiri. 
2) Persatuan Nasional dari seluruh bangsa Indonesia, dengan berdasar kerakyatan dalam paham politik. 
3) Persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia.


Meskipun persatuan nasional merupakan dasar aksi GAPI, akan tetapi dalam kenyataannya perpecahan dalam tubuh kaum pergerakan tidak bisa diabaikan begitu saja. Bagaimanapun hal ini akan mempengaruhi bahkan menghambat pencapaian tujuan GAPI. Perpecahan tersebut terlihat ketika berdirinya Golongan Nasional Indonesia di samping adanya Fraksi Nasional. Di samping itu, di antara anggota-anggota pun terdapat perbedaan yang tidak bisa diselesaikan. Terdapatnya anggota-anggota GAPI, Parindra, PSII, PII, Pasundan dan Gerindo yang mempunyai konflik: PII Sukiman dengan PSII Abikusno; Gerindo dengan Moh. Yamin.

Sementara itu perpecahan kaum pergerakan tidak menjadi penghalang utama bagi GAPI untuk melakukan aksi-aksinya. Pada rapatnya tanggal 4 Juli 1939 GAPI memutuskan pendirian Kongres Rakyat Indonesia (KRI). Pembentukan kongres ini merupakan pelaksanaan program GAPI. Pada tanggal 1 september 1939 hitler menyerbu polandia dan mulai berkobarlah Perang Dunia II di Eropa. GAPI menekan belanda supaya memberikan otonomi sehingga dapat dibentuk aksi bersama belanda-indonesia dalam melawan fasisme. Tentu saja belanda tidak bereaksi. ( Ricklefs. 1991:291 )

Disamping itu GAPI melakukan aksi Indonesia Berparlemen. Dengan aksi ini diharapkan pemerintah Nederland memberi peluang untuk meningkatkan keselamatan dan kesejahteraan rakyat melalui Kongres Rakyat Indonesia. Tujuan ini dikemukakan berhubung dengan timbulnya Perang Dunia II. Bertalian dengan hal di atas, GAPI juga menawarkan hubungan kerja sama Indonesia dengan Belanda, dengan harapan adanya perhatian Belanda terhadap aspirasi rakyat Indonesia. Hal ini untuk merealisasikan keputusan-keputusan konferensi GAPI yang dilangsungkan pada tanggal 19 dan 20 September 1939, antara lain sebagai berikut.

1) Perlunya dibentuk parlemen yang anggota-anggotanya dipilih dari dan oleh rakyat, pemerintah harus bertanggung jawab kepada parlemen itu.

2) Jika keputusan no. 1) dipenuhi, maka GAPI akan memaklumkan kepada rakyat untuk mendukung Belanda.

3) Anggota-anggota GAPI akan bertindak semata-mata dalam ikatan GAPI

(Pringgodigdo, 1980: 145).

Berparlemen merupakan program yang terus-menerus dan disebarluaskan kepada semua partai baik anggota GAPI maupun anggota Kongres Rakyat Indonesia. Tambahan pula, bahwa GAPI sebagai badan pekerja KRI itu sudah menjadi kewajiban GAPI untuk mempropagandakannya oleh semua Komite Indonesia Berparlemen di seluruh Indonesia.

Tuntutan GAPI, Indonesia Berparlemen, ternyata kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Alasan yang dikemukakannya adalah bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan status kenegaraan Indonesia akan dibicarakan setelah selesai perang. Kondisi Belanda yang diduduki Jerman sejak bulan Mei 1940 ini tentu merupakan salah satu alasan bagi pemerintah Belanda. Dan ketika pemerintah Netherland menjadi Exile Government di London ini berarti semakin menjauhkan hubungan Indonesia dengan Belanda.

Pada bulan agustus 1940 mosi-mosi (Thamprin, Soetardjo, dan Wiwoho) mendapat tanggapan yang umumnya negatif dari pemerintah sehingga ditarik kembali oleh para sponsornya. Pada bulan yang sama GAPI memulai upanya yang terahir ketika organisasi tersebut mengusulkan pembentukan suatu uni belanda-indonesia yang berdasarkan atas kedudukan yang sama bagi kedua belah pihak dimana Volksraad akan berubah menjadi badan legislatif yang bersifat bikameral atas dasar sistem pemilihan yang adil. (Ricklefs. 1991:292)

Akan tetapi desakan yang terus-menerus dari GAPI -Indonesia Berparlemen telah memaksa Belanda membentuk suatu panitia - Commisie tot bestudering van staattrechtelijke hervormingen‖ (Panitia untuk mempelajari perubahan-perubahan tata negara). Panitia yang biasa disebut Commisie Visman -nama ketuanya Visman- ini dibentuk pada bulan November 1940 dan laporannya ke luar tahun 1942 (Pringgodigdo, 1980: 196). Commisie Visman sendiri meminta keterangan dari GAPI untuk melakukan penjelasan mengenai Indonesia Berparlemen.

Memorandum yang diajukan GAPI itu menunjukan bahwa bangsa Indonesia mempunyai keinginan dan kemampuan untuk mengurus sendiri bangsa dan negaranya. Hal ini juga sekaligus menghapus ketidakpercayaan pemerintah kolonial yang selalu menganggap bahwa bangsa Indonesia masih mentah dan belum bisa menyelenggarakan pemerintah sendiri.



DAFTAR PUTAKA

Rushdy Hoesein. (http://sejarahkita.blogspot.com/2012_06_01_archive.html)diakses) 07-03-2014

Dimjati, M. (1951). Sedjarah Perdjuangan Indonesia. Djakarta: Widjaja. .

Koch, D.M.G. (1951). Menudju Kemerdekaan. Terdj. Abdoel Moeis. Djakarta:

Pembangunan.

Poesponegoro, M.D. dan Notosusanto, N. (1981). Sejarah Nasional Indonesia . Jilid V.

Jakarta: Balai Pustaka.

Ricklefs, M.C. (1991). Sejarah Indonesia Modern. Terj. Dharmono Hardjowidjono.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pringgodigdo, AK.(1980).Sejarah pergerakan rakyat indonesi, jakarta, dian rakyat

0leh. 
Nina.