Senin, 14 April 2014


Windi Aries Rusdiana
PARTAI INDONESIA (PARTINDO)
Dalam catatan sejarah bahwa sejak empat orang tokoh PNI yaitu Ir. Soekarno (sebagai ketua PNI), R. Gatot Mangkoepraja (sekretaris II PB PNI), Markoen Soemadiredja (sekretaris II Pengurus PNI Cabang Bandung), dan Soepriadinata (anggota PNI cabang Bandung) diajukan kedepan pengadilan di bandung pada tanggal 18 agustus 1930 sampai dengan 29 september 1930. Ir. Soekarno dalam pidato pembelaannya yang terkenal dengan nama “Indonesia Menggugat” menandaskan bahwa “Kini telah menjadi jelas pergerakan nasional di indoneisa bukanlah bikinan kaum intelektual dan komunis saja, tetapi merupakan reaksi umum yang wajar dari rakyat jajahan yang dalam batinnya telah merdeka. Revolusi Indonesia adalah revolusinya zaman sekarang, bukan revolusinya sekelompok-kelompok kecil kaum intelektual, tetapi revolusinya bagian terbesar rakyat dunia yang terbelakang dan diperbodoh”. Pemimpin-pemimpin PNI dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan colonial pada tanggal 22 desember 1930.
Penangkapan atas pemimpin-pemimpin PNI, terutama Ir. Soekarno yang merupakan jiwa penggerak PNI merupakan pukulan yang sangat keras terhadap PNI. Pada kongres luar biasa ke-2 di Jakarta, pada tanggal 25 april 1931, diambil keputusan untuk membubarkan PNI Karena keadaan yang memaksa. Pembubaran ini menimbulkan perpecahan dikalangan pendukung-pendukung PNI, Dan masing-masing pihak mendirikan sebuah partai. Salah satu partai itu adalah partai Indonesia (Partindo) yang didirikan oleh Mr. Sartono dan kawan-kawannya. Perbedaan antara keduanya sebenarnya tidak ada huubungannya dengan persoalan pembaruan social. Mereka setuju bahwa kemerdekaan politik adalah tujuan perjuangan utama yang harus dicapai dengan taktik nonkoperasi. Akan tetapi, apabila PNI-baru lebih mengutamakan pendidikan politik dan social, partindo percaya bahwa organisasi masa dengan aksi adalah senjata yang tepat untuk mencapai kemerdekaan.
Berdirinya partai partindo pada tanggal 30 april 1931 atas dasar nasionalisme indoneisa yang bertujuan  mencapai kemerdekaan Indonesia. Dalam tujuan partai partindo yang di pimpin oleh sartono akan mendasarkan pada kekuatan sendiri. Anggota partindo sebagian besar berasal dari anggota PNI. Pada permulaan bulan februari 1932 partindo mempunyai anggota sekitar 3.000 orang.
Golongan merdeka tidak senang melihat pembubaran PNI itu yang kemudian disusul didirikannya partindo. Mereka tidak tinggal diam, tetapi berusaha untuk mendirikan suatu organisasi sendiri. Mereka selalu berhubungan dengan Mohammad Hatta yang masih berada di negri belanda. Akhirnya pada akhir bulan desember 1931 di Yogyakarta didirikan organisasi baru bagi mereka dengan nama pendidikan nasional Indonesia (PNI) baru.
Jika PNI baru di bandingkan dengan partindo, pada hakikatnya tidak ada perbedaan yang besar. Karena kedua organisasi itu berdiri di atas dasar yang tidak jauh berbeda, yaitu nasinalisme Indonesia dan demokrasi. Tujuannya adalah kemerdekaaan Indonesia yang hendak di capai dengan kekuatan sendiri tanpa meminta bantuan siapa pun dan tidak mau bekerja sama dengan pemerintah colonial (nonkooperasi). Perbedaan adalah dalam cara unntuk mencapai tujuan. PNI baru berkeyakinan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak akan dapat dicapai dengan agitasi belaka, tetapi memerlukakan kerja yang terorganisasi. Kemerdekaaan hanya dapat dicapai melalui usaha-usaha orang-orang yang terdidik.
Tidak lama sesudah PNI-baru lahir, Ir. Soekarno yang baru menjalani setengah hukuman yang di jatuhkan kepadanya, pada tanggal 31 desember 1931 dibebaskan dari penjara. Ia kemudian selama enam bulan lebih berusaha keras untuk menyatukan kedua partai itu, tetapi tidak berhasil, dan akhirnya Ir. Soekarno memilih untuk masuk ke dalam partai partindo.
Setelah Soekarno kembali dan memimpin partindo, partai ini yang sebelumnya kurang berani jika dibandingkan dengan PNI mengalami perkembangan pesat, bahkan jumlah cabang dan anggotanya pun meningkat secara drastis.
Setelah partindo menjadi partai yang bisa dibilang partai besar dan di segani oleh pemerintahan colonial belanda sehingga nama Indonesia boleh dikatakan telah kebal terhadap penahanan dan pembuangan para pemimpin gerakan nasional. Lambat laun masyarakat Indonesia menjadi matang dalam menghadapi segala tindakan pemerintah colonial. Berita penahanan Soekarno dianggap sebagai berita wajar. Ini tidak berarti rakyat tidak suka dengan pemimpinnya. Pada waktu itu, telah timbul anggapan kalangan masyarkata Indonesia bahwa menjadi pemimpin gerakan nasional taruhannya jiwa, hukuman penjara, atau pembuangan yang diasingkan ke daerah terpencil. Barang siapa sanggup menjadi pemimpin gerakan nasional, harus bersedia menerima  salah satu dari tiga kemungkinan itu sebagai konsekuensinya. Yang menjadi pemikiran para anggota partai adalah penerapan peraturan pemerintah 111 yang mengandung pembatasan hasil berserikat bagi partindo dan PNI baru. Penerapan peraturan tersebut berarti pembubaran partai dari pihak pemerintah secara tidak resmi. Pemerintah cukup mempunyai senjata ampuh untuk melumpuhkan sgeala gerakan nasional yang tidak disukai tanpa pembubaran secara resmi. Pembubaran atas prakarsa sendiri, seperti yang dilakukan tahun 1931 oleh Sartono sebagai taktik perjuangan, tidak lagi terpikirkan.
Makin meningkatnya perjuangan kedua partai antara partindo dan PNI baru saat itu  menimbulakan rasa khawatir dikalangan pemerintah. Kemudian dibuatlah berbagai macama peraturan yang bermaksud hendak mengekang perkembangannya. Tindakan pertama yang dilakukan oleh gubernur jendral De Jong adalah dengan dikeluarkannya ordonansi pengekangan pers. Sejak berlakunya ordonansi ini tahun 1931 sampai tahun 1936 (selama pemerintahan de jong) sebanyak 27 surat kabar menjadi korban.
Setelah keluar ordonansi, kebebasan berbicara dalam rapat-rapat menjadi sangat terbatas. Polisi yang biasa menghadiri rapat-rapat dianjurkan bertindak agak keras. Atas dasar itu, polisi-polisi dapat bertindak sesuka hati. Mereka dapat memberentikan pembicara-pembicara dalam suatu rapat  jika sekiranya materi yang dibicarakan menyinggung pemerintah. Demikian pula jika dalam rapat-rapat partia di perlihatkan symbol-simbol nasional Indonesia. Tekanann-tekanan yang demikian itu tidak hanya menimpa partindo dan PNI-baru, tetapi juga partai-partai lainnya. Usaha pemerintah untuk mematikan gerakan partia partindo dan PNI-baru tidak hanya dengan cara tersebut. Untuk mengurangi jumlah anggota, dikeluarkan larangan terhadap para pegawai pemerintah untuk memasuki kedua partai itu. Pegawai-pegawai pemerintah yang terlibat dalam aksi-aksi golongan nonkooperasi ini dikenai hukuman. Tindakan pemerintah yang lain untuk menekan kedua partai itu ialah  dengan dilaksanakan exorbitant recthen yaitu hak luar biasa yang dimiliki oleh gubbernur jendaral untuk mengasingkan seseorang yang dianggap berbahaya.
Hak luar biasa gubernur jendral tersebutmenimpa pemimpin-pemimpin partindo dan PNI-baru. Soekarno yang baru dibebaskan dari penjara pada akhir tahun1931, pada bulan Juli 1933 di tangkap lagi. Tanpa diadili kemudian ia diasingkan ke flores, kemudian di pindahkan ke Bengkulu Sumatra, sampai pembebasannya oleh pemetintah pendudukan jepang pada tahun1942. Korban lainnya dari PNI-baru antara lain Moh. Hatta dan Sultan Sjahrir yang ditangkap pada bulan februari1934. Hatta dan Sjahrir dibuang ke boven digul dan dari sana kemudian pada bulan desember 1935 dipindahkan ke bandaniara.
Usaha pemerintah untuk mematikan kedua organisasi tersebut masih dilakukan. Beberapa hari setelah penangkapan Soekarno, pada tanggal 1 agustus 1933 dikeluarkan larangan untuk mengadakan rapat diseluruh Indonesia. Dengan adanya penangkapan-penagkapan terhadap beberapa pemimpin partindo dan PNI-baru dan larangan mengadakan rapat dan berkumpul, keadaan gerakan nonkooperasi tidak berdaya lagi. Orang-orang yang mempunyai keberanian mengikuti jejak para pemimpin yang telah diasingkan, akhrnya juga ditangkap dan diasingkan.
Kegiatan-kegiatan dibawah tanah sangat sukar dijalankan karena banyaknya polisi rahasia. Usaha para pemimpin PNI-baru yang masih ada untuk memberikan penerangan-penerangan kepada para anggotanya melalui kursus-kursus dan kunjungan ke rumah-rumah juga tidak berhasil karena mendapat larangan. Cara-cara tersebut dianggap sebagai aksi yang tersembunyi dan dengan aksi tersebut, pada tahun1936 terjadi penangkapan-penangkapan para petinggi partai partindo dan di sinilah mulai terjadi kelemahan dalam gerakan partai tersebut.
Pengalaman pahit yang dialami oleh kaum nonkoopearasi menimbulkan kesangsian dikalangan mereka akan keberhasilan polotik perjuangannya. Gatot Mangkupraja mantan pengurus besar partai partindo mengusulkan agar golongan nonnkooperasi mengurangi kegiatannya dilapangan politik dan sebaliknya banyak mencurahkan perhatiannya pada naslah-masalah social dan ekonomi. Menurutnya kemerdekaan Indonesia tidak tergantung sama sekali pada perjuangan dibidang politik, teapi juga tergantung pada keadaan internasional terhadap Indonesia. Kegiatan social yang dimaksud mendirikan sekolah-sekolah serta mengeluarkan buku-buku pengetahuan berbahsa Indonesia akan maju dengan sendirinya.
Setahun sebelumnya, pada tahun 1934, ketika terjadi pengasingan terhadap pemimpin-pemimpin partindo dan PNI-baru, pernah juga dinyatakan dalam Djawa Barat bahwa orang akan mencapai hasil yang lebih banyak kalau orang dapat menggunakan semangat nasional untuk menyelesaikan masalah-maslah ekonomi.
Kemudia usaha partindo dan pendidikan nasional Indonesia untuk memperpanjang hidupnya dan menerapkan taktik perjuangan, kenyataannya adalah bahwa pihak pemerintah sudah mempunyai maksud untuk melumpuhkannya. Demikianlah, pihak pemerintah tetap mengadakan rintangan untuk kelangsungan hidup kedua partai tersebut. Meskipun partindo pada tahun 1935 mengubah anggaran dasarnya dan menghilangkan pasal-pasal  yang tidak disukai pihak pemerintah, dan mengubah asas non kooperasi menajdi taktik, akibat tekanan pihak pemerintah akhirnya pada tanggal 18 november 1936 membubarkan diri. Pendidikan nasional Indonesia tidak pernah mengubah diri, namun praktis juga tidak dapat bergerak. Demikianlah pemerintah colonial dibawah pimpinan gubernur Jendral De Jonge dengan menggunakan senjatanya yang ampuh berupa kekuasaan luar biasa berhasil melumpuhkan lawannya yang bergerak dalam batas undang-undang. Karena undang-undang pidana tidak bisa di terapkan untuk meringkus musuhnya, gubernur jendral terpaksa menggunakan kekuasaan luar biasa yang ada padanya.
Keluarnya Soekarno dalam partai partindo bulan oktober 1933 memberikan kesempatan kepada berbagi pihak baik kawan maupun lawan untuk menafsirkannya. Tafsirannya memang berbeda-beda ada yang menganggap sebagai taktik, bahkan biasa jadi ia menyelamatkan partindo karena iya tahu dengan pasti bahwa pengaruhnya terhadap partindo terlalu besar. Karena secara resmi telah keluar dari partindo, partindo sendiri tidak mempunyai sangkutpaut lagi dengan Soekarno dan berjalan terus tanpa pengaruhnya dan sampai partindo membubarkan diri dan membentuk gerakan partai-partai lain.












DAFTAR PUSTAKA

Kartodirdjo,sartono.(1900) pengantar ilmu sejarah jilid II.
Poesponegoro, M. D. dan Notosusanto, N. (1981). Sejarah Nasional Indonesia, Jilid V.  Jakarta: Balai Pustaka.
Marwati, Notosusanto, Nugroho. 2008, Sejarah Naional Indonesia v (Jaman Kebangkitan Nasional dan masa Hindia Belanda), Jakarta: Balai Pustaka.
Salim, Agus. (2007), Bungkarno 1901-1970, Bandung: Nuansa
Praptanto, Eko. 2010, Sejarah Indonesia, Jakarta: Bina Sumber Daya MIPA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar