Windi
Aries Rusdiana
PARTAI
INDONESIA (PARTINDO)
Dalam
catatan sejarah bahwa sejak empat orang tokoh PNI yaitu Ir. Soekarno (sebagai
ketua PNI), R. Gatot Mangkoepraja (sekretaris II PB PNI), Markoen Soemadiredja
(sekretaris II Pengurus PNI Cabang Bandung), dan Soepriadinata (anggota PNI
cabang Bandung) diajukan kedepan pengadilan di bandung pada tanggal 18 agustus
1930 sampai dengan 29 september 1930. Ir. Soekarno dalam pidato pembelaannya
yang terkenal dengan nama “Indonesia Menggugat” menandaskan bahwa “Kini telah
menjadi jelas pergerakan nasional di indoneisa bukanlah bikinan kaum
intelektual dan komunis saja, tetapi merupakan reaksi umum yang wajar dari
rakyat jajahan yang dalam batinnya telah merdeka. Revolusi Indonesia adalah
revolusinya zaman sekarang, bukan revolusinya sekelompok-kelompok kecil kaum
intelektual, tetapi revolusinya bagian terbesar rakyat dunia yang terbelakang
dan diperbodoh”. Pemimpin-pemimpin PNI dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan
colonial pada tanggal 22 desember 1930.
Penangkapan
atas pemimpin-pemimpin PNI, terutama Ir. Soekarno yang merupakan jiwa penggerak
PNI merupakan pukulan yang sangat keras terhadap PNI. Pada kongres luar biasa
ke-2 di Jakarta, pada tanggal 25 april 1931, diambil keputusan untuk membubarkan
PNI Karena keadaan yang memaksa. Pembubaran ini menimbulkan perpecahan
dikalangan pendukung-pendukung PNI, Dan masing-masing pihak mendirikan sebuah
partai. Salah satu partai itu adalah partai Indonesia (Partindo) yang didirikan
oleh Mr. Sartono dan kawan-kawannya. Perbedaan antara keduanya sebenarnya tidak
ada huubungannya dengan persoalan pembaruan social. Mereka setuju bahwa
kemerdekaan politik adalah tujuan perjuangan utama yang harus dicapai dengan
taktik nonkoperasi. Akan tetapi, apabila PNI-baru lebih mengutamakan pendidikan
politik dan social, partindo percaya bahwa organisasi masa dengan aksi adalah
senjata yang tepat untuk mencapai kemerdekaan.
Berdirinya
partai partindo pada tanggal 30 april 1931 atas dasar nasionalisme indoneisa
yang bertujuan mencapai kemerdekaan
Indonesia. Dalam tujuan partai partindo yang di pimpin oleh sartono akan
mendasarkan pada kekuatan sendiri. Anggota partindo sebagian besar berasal dari
anggota PNI. Pada permulaan bulan februari 1932 partindo mempunyai anggota sekitar
3.000 orang.
Golongan
merdeka tidak senang melihat pembubaran PNI itu yang kemudian disusul
didirikannya partindo. Mereka tidak tinggal diam, tetapi berusaha untuk
mendirikan suatu organisasi sendiri. Mereka selalu berhubungan dengan Mohammad
Hatta yang masih berada di negri belanda. Akhirnya pada akhir bulan desember
1931 di Yogyakarta didirikan organisasi baru bagi mereka dengan nama pendidikan
nasional Indonesia (PNI) baru.
Jika
PNI baru di bandingkan dengan partindo, pada hakikatnya tidak ada perbedaan
yang besar. Karena kedua organisasi itu berdiri di atas dasar yang tidak jauh
berbeda, yaitu nasinalisme Indonesia dan demokrasi. Tujuannya adalah
kemerdekaaan Indonesia yang hendak di capai dengan kekuatan sendiri tanpa
meminta bantuan siapa pun dan tidak mau bekerja sama dengan pemerintah colonial
(nonkooperasi). Perbedaan adalah dalam cara unntuk mencapai tujuan. PNI baru
berkeyakinan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak akan dapat dicapai dengan
agitasi belaka, tetapi memerlukakan kerja yang terorganisasi. Kemerdekaaan
hanya dapat dicapai melalui usaha-usaha orang-orang yang terdidik.
Tidak
lama sesudah PNI-baru lahir, Ir. Soekarno yang baru menjalani setengah hukuman
yang di jatuhkan kepadanya, pada tanggal 31 desember 1931 dibebaskan dari
penjara. Ia kemudian selama enam bulan lebih berusaha keras untuk menyatukan
kedua partai itu, tetapi tidak berhasil, dan akhirnya Ir. Soekarno memilih
untuk masuk ke dalam partai partindo.
Setelah
Soekarno kembali dan memimpin partindo, partai ini yang sebelumnya kurang
berani jika dibandingkan dengan PNI mengalami perkembangan pesat, bahkan jumlah
cabang dan anggotanya pun meningkat secara drastis.
Setelah
partindo menjadi partai yang bisa dibilang partai besar dan di segani oleh
pemerintahan colonial belanda sehingga nama Indonesia boleh dikatakan telah
kebal terhadap penahanan dan pembuangan para pemimpin gerakan nasional. Lambat
laun masyarakat Indonesia menjadi matang dalam menghadapi segala tindakan
pemerintah colonial. Berita penahanan Soekarno dianggap sebagai berita wajar.
Ini tidak berarti rakyat tidak suka dengan pemimpinnya. Pada waktu itu, telah
timbul anggapan kalangan masyarkata Indonesia bahwa menjadi pemimpin gerakan
nasional taruhannya jiwa, hukuman penjara, atau pembuangan yang diasingkan ke
daerah terpencil. Barang siapa sanggup menjadi pemimpin gerakan nasional, harus
bersedia menerima salah satu dari tiga
kemungkinan itu sebagai konsekuensinya. Yang menjadi pemikiran para anggota
partai adalah penerapan peraturan pemerintah 111 yang mengandung pembatasan
hasil berserikat bagi partindo dan PNI baru. Penerapan peraturan tersebut
berarti pembubaran partai dari pihak pemerintah secara tidak resmi. Pemerintah
cukup mempunyai senjata ampuh untuk melumpuhkan sgeala gerakan nasional yang
tidak disukai tanpa pembubaran secara resmi. Pembubaran atas prakarsa sendiri,
seperti yang dilakukan tahun 1931 oleh Sartono sebagai taktik perjuangan, tidak
lagi terpikirkan.
Makin
meningkatnya perjuangan kedua partai antara partindo dan PNI baru saat itu menimbulakan rasa khawatir dikalangan
pemerintah. Kemudian dibuatlah berbagai macama peraturan yang bermaksud hendak
mengekang perkembangannya. Tindakan pertama yang dilakukan oleh gubernur
jendral De Jong adalah dengan dikeluarkannya ordonansi pengekangan pers. Sejak
berlakunya ordonansi ini tahun 1931 sampai tahun 1936 (selama pemerintahan de
jong) sebanyak 27 surat kabar menjadi korban.
Setelah
keluar ordonansi, kebebasan berbicara dalam rapat-rapat menjadi sangat
terbatas. Polisi yang biasa menghadiri rapat-rapat dianjurkan bertindak agak
keras. Atas dasar itu, polisi-polisi dapat bertindak sesuka hati. Mereka dapat
memberentikan pembicara-pembicara dalam suatu rapat jika sekiranya materi yang dibicarakan
menyinggung pemerintah. Demikian pula jika dalam rapat-rapat partia di
perlihatkan symbol-simbol nasional Indonesia. Tekanann-tekanan yang demikian
itu tidak hanya menimpa partindo dan PNI-baru, tetapi juga partai-partai
lainnya. Usaha pemerintah untuk mematikan gerakan partia partindo dan PNI-baru
tidak hanya dengan cara tersebut. Untuk mengurangi jumlah anggota, dikeluarkan
larangan terhadap para pegawai pemerintah untuk memasuki kedua partai itu.
Pegawai-pegawai pemerintah yang terlibat dalam aksi-aksi golongan nonkooperasi
ini dikenai hukuman. Tindakan pemerintah yang lain untuk menekan kedua partai
itu ialah dengan dilaksanakan exorbitant
recthen yaitu hak luar biasa yang dimiliki oleh gubbernur jendaral untuk
mengasingkan seseorang yang dianggap berbahaya.
Hak
luar biasa gubernur jendral tersebutmenimpa pemimpin-pemimpin partindo dan
PNI-baru. Soekarno yang baru dibebaskan dari penjara pada akhir tahun1931, pada
bulan Juli 1933 di tangkap lagi. Tanpa diadili kemudian ia diasingkan ke
flores, kemudian di pindahkan ke Bengkulu Sumatra, sampai pembebasannya oleh pemetintah
pendudukan jepang pada tahun1942. Korban lainnya dari PNI-baru antara lain Moh.
Hatta dan Sultan Sjahrir yang ditangkap pada bulan februari1934. Hatta dan
Sjahrir dibuang ke boven digul dan dari sana kemudian pada bulan desember 1935
dipindahkan ke bandaniara.
Usaha
pemerintah untuk mematikan kedua organisasi tersebut masih dilakukan. Beberapa
hari setelah penangkapan Soekarno, pada tanggal 1 agustus 1933 dikeluarkan
larangan untuk mengadakan rapat diseluruh Indonesia. Dengan adanya
penangkapan-penagkapan terhadap beberapa pemimpin partindo dan PNI-baru dan
larangan mengadakan rapat dan berkumpul, keadaan gerakan nonkooperasi tidak
berdaya lagi. Orang-orang yang mempunyai keberanian mengikuti jejak para
pemimpin yang telah diasingkan, akhrnya juga ditangkap dan diasingkan.
Kegiatan-kegiatan
dibawah tanah sangat sukar dijalankan karena banyaknya polisi rahasia. Usaha
para pemimpin PNI-baru yang masih ada untuk memberikan penerangan-penerangan
kepada para anggotanya melalui kursus-kursus dan kunjungan ke rumah-rumah juga
tidak berhasil karena mendapat larangan. Cara-cara tersebut dianggap sebagai
aksi yang tersembunyi dan dengan aksi tersebut, pada tahun1936 terjadi
penangkapan-penangkapan para petinggi partai partindo dan di sinilah mulai
terjadi kelemahan dalam gerakan partai tersebut.
Pengalaman
pahit yang dialami oleh kaum nonkoopearasi menimbulkan kesangsian dikalangan
mereka akan keberhasilan polotik perjuangannya. Gatot Mangkupraja mantan
pengurus besar partai partindo mengusulkan agar golongan nonnkooperasi
mengurangi kegiatannya dilapangan politik dan sebaliknya banyak mencurahkan
perhatiannya pada naslah-masalah social dan ekonomi. Menurutnya kemerdekaan
Indonesia tidak tergantung sama sekali pada perjuangan dibidang politik, teapi
juga tergantung pada keadaan internasional terhadap Indonesia. Kegiatan social
yang dimaksud mendirikan sekolah-sekolah serta mengeluarkan buku-buku
pengetahuan berbahsa Indonesia akan maju dengan sendirinya.
Setahun
sebelumnya, pada tahun 1934, ketika terjadi pengasingan terhadap
pemimpin-pemimpin partindo dan PNI-baru, pernah juga dinyatakan dalam Djawa
Barat bahwa orang akan mencapai hasil yang lebih banyak kalau orang dapat
menggunakan semangat nasional untuk menyelesaikan masalah-maslah ekonomi.
Kemudia
usaha partindo dan pendidikan nasional Indonesia untuk memperpanjang hidupnya
dan menerapkan taktik perjuangan, kenyataannya adalah bahwa pihak pemerintah
sudah mempunyai maksud untuk melumpuhkannya. Demikianlah, pihak pemerintah
tetap mengadakan rintangan untuk kelangsungan hidup kedua partai tersebut.
Meskipun partindo pada tahun 1935 mengubah anggaran dasarnya dan menghilangkan
pasal-pasal yang tidak disukai pihak
pemerintah, dan mengubah asas non kooperasi menajdi taktik, akibat tekanan
pihak pemerintah akhirnya pada tanggal 18 november 1936 membubarkan diri.
Pendidikan nasional Indonesia tidak pernah mengubah diri, namun praktis juga
tidak dapat bergerak. Demikianlah pemerintah colonial dibawah pimpinan gubernur
Jendral De Jonge dengan menggunakan senjatanya yang ampuh berupa kekuasaan luar
biasa berhasil melumpuhkan lawannya yang bergerak dalam batas undang-undang.
Karena undang-undang pidana tidak bisa di terapkan untuk meringkus musuhnya,
gubernur jendral terpaksa menggunakan kekuasaan luar biasa yang ada padanya.
Keluarnya
Soekarno dalam partai partindo bulan oktober 1933 memberikan kesempatan kepada
berbagi pihak baik kawan maupun lawan untuk menafsirkannya. Tafsirannya memang
berbeda-beda ada yang menganggap sebagai taktik, bahkan biasa jadi ia
menyelamatkan partindo karena iya tahu dengan pasti bahwa pengaruhnya terhadap
partindo terlalu besar. Karena secara resmi telah keluar dari partindo,
partindo sendiri tidak mempunyai sangkutpaut lagi dengan Soekarno dan berjalan
terus tanpa pengaruhnya dan sampai partindo membubarkan diri dan membentuk
gerakan partai-partai lain.
DAFTAR PUSTAKA
Kartodirdjo,sartono.(1900)
pengantar ilmu sejarah jilid II.
Poesponegoro,
M. D. dan Notosusanto, N. (1981). Sejarah Nasional Indonesia, Jilid V. Jakarta: Balai Pustaka.
Marwati,
Notosusanto, Nugroho. 2008, Sejarah Naional Indonesia v (Jaman Kebangkitan
Nasional dan masa Hindia Belanda), Jakarta: Balai Pustaka.
Salim,
Agus. (2007), Bungkarno 1901-1970, Bandung: Nuansa
Praptanto,
Eko. 2010, Sejarah Indonesia, Jakarta: Bina Sumber Daya MIPA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar